Tatkala masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku
dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar do’a ibuku saat pulang
dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam
shalatnya yang panjang.Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama,
apalagi jika saat musim dingin yangmenyengat tulang.
Akusungguh
heran. Bahkan hingga aku berkata kepada diri sendiri: “Alangkahsabarnya
mereka…setiap hari begitu…benar-benar mengherankan!”
Aku belum
tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin, dan itulah shalat
orang-orang pilihan…Mereka bangkit dari tempat tidumya untuk bermunajat
kepada Allah.Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai
pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah. Padahal
berbagai nasihat selalu kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu.
Setelah
tamat dari pendidikan, aku ditugaskan ke kota yang jauh dari
kotaku.Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan
menanggung beban sebagai orang terasing.
Di sana,aku tak mendengar
lagi suara bacaan Al-Qur’an. Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan
dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari
lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati.
Aku ditugaskan
mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping menjaga keamanan
jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Pekejaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi.
Tetapi,hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak.
Akubingung dan sering melamun sendirian…banyak waktu luang…pengetahuanku terbatas.
Aku
mulai jenuh…tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang kara.
Hampir tia phari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang
mengadu kecopetan atau bentuk-bentult penganiayaan lain. Aku bosan
dengan rutinitas. Sampai suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang
hingga kini tak pernah kulupakan.
Ketika itu, kami dengan seorang
kawan sedang bertugas di sebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol…tiba-tiba
kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras. Kami mengalihkan
pandangan. Ternyata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang
meluncur dari arah berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat
kejadian untuk menolong korban.
Kejadian yang sungguh
tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil daIam kondisi sangat
kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di
tanah.
Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata
pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi
kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma.Temanku menuntun mereka
mengucapkan kalimat syahadat.
Ucapkanlah“Laailaaha Illallaah…Laailaaha Illallaah…” perintah temanku.
Tetapi
sungguh mengherankan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu. Keadaan
itu membuatku merinding.Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi
orang-orang yangsekarat…Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat.
Aku
diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku,
aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan
kondisi sepertiini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang
bacaan syahadat. Tetapi…keduanya tetap terus saja melantunkan lagu.
Tak adagunanya…
Suara
lagunya semakin melemah…lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak
bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak… keduanya telah
meninggal dunia.
Kami segera membawa mereka ke dalam mobil.
Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah pun. Selama pejalanan hanya ada kebisuan,hening.
Kesunyian
pecah ketika temanku memulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat
kematian dansu’ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata: “Manusia
akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan hidup itu
biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia”. Ia
bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan
dalam buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan
mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
Perjalananke
rumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang
kematian.Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa
kami sedang membawa mayat.
Tiba-tibaaku menjadi takut mati. Peristiwa ini benar-benar memberi pelajaran berhargabagiku. Hari itu, aku shalat kusyu’ sekali.
Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu.
Aku
kembali pada kebiasaanku semula…Aku seperti tak pemah menyaksikan apa
yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu lalu. Tetapi
sejak saat itu,aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya
lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala.
Mungkin itu ada kaitannya denga nlagu yang pemah kudengar dari dua orang
yang sedang sekarat dahulu.
* KejadianYang
Menakjubkan… Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan itu…sebuah
kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku.
Seseorang mengendarai mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah terowongan menuju kota.
Ia
turundari mobilnya untuk mengganti ban yang kempes. Ketika ia berdiri
di belakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil
dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itu pun
langsung tersungkur seketika.
Aku dengan seorang kawan, bukan yang
menemaniku pada peristiwa yang pertama- cepat-cepat menuju tempat
kejadian. Dia kami bawa dengan mobil dan segera pula kami menghubungi
rumah sakit agar langsung mendapat penanganan.
Dia masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang ta’at menjalankan perintah agama.
Ketika
mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak sempat
memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami membujurkannya
di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari
mulutnya.
Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an…dengan suara amat lemah.
“Subhanallah!”
dalam kondisi kritis seperti , ia masih sempat melantunkan ayat-ayat
suciAl-Quran? Darah mengguyur seluruh pakaiannya; tulang-tulangnya
patah, bahkan iahampir mati.
Dalam kondisi seperti itu, ia terus
melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu. Selama hidup
aku tak pernah mendengar suara bacaan Al Quran seindah itu. Dalam batin
aku bergumam sendirian: “Aku akan menuntun membaca syahadat sebagaimana
yang dilakukan oleh temanku terdahulu… apalagi aku Sudah punya
pengalaman,” aku meyakinkan diriku sendiri.
Aku dan kawanku
seperti kena hipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qur’an yang merdu
itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar dan menyelusup ke
setiap rongga.
Tiba-tiba suara itu berhenti. Aku menoleh ke
belakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat.
Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang.Kupegang tangannya, detak
jantungnya nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meninggal dunia.
Aku
lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan
tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau
pemuda itu telah wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian
pula halnya dengan diriku.Aku terus menangis, air mataku deras mengalir.
Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.
Sampai dirumah sakit…
Kepadaorang-orang
di sanal kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa
menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak orang yang terpengaruh
denga nkisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata. Salah
seorang darimereka, demi mendengar kisahnya, segera menghampiri jenazah
dan menciumkeningnya.
Semuaorang yang hadir memutuskan
untuk tidak beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan
dishalatkan. Mereka ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah,
semua ingin ikut menyalatinya.
Salah seorang petugas tumah sakit
menghubungi rumah almarhum. Kami ikut mengantarkan jenazah hingga ke
rumah keluarganya. Salah seorang saudaranya mengisahkan ketika
kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di
desa.Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari Senin. Di sana, almarhum
juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin. Ketika
tejadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan
barang-barangkebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku
agama dankaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada
orang-orang yangia santuni. Bahkan ia juga membawa permen untuk
dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil.
Bila ada yang
mengeluhkan-padanya tentang kejenuhan dalam pejalanan, ia menjawab
dengan halus. “Justru saya memanfaatkan waktu perjalananku dengan
menghafal dan mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, juga dengan mendengarkan
kaset-kaset pengajian,aku mengharap ridha Allah pada setiap langkah
kaki yang aku ayunkan,” kata almarhum.
Aku ikut menyalati jenazah dan mengantarnya sampai ke kuburan.
Dalam liang lahat yang sempit, almarhum dikebumikan. Wajahnya dihadapkan ke kiblat.
“Dengan nama Allah dan atas agama Rasulullah”.
Pelan-pelan,kami menimbuninya dengan tanah…Mintalah kepada Allah keteguhan hati saudaramu,sesungguhnya dia akan ditanya…
Almarhum menghadapi hari pertamanya dari hari-hari akhirat…
Dan
aku…sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari pertamaku di dunia. Aku
benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku. Mudah-mudahan Allah
mengampuni dosa-dosaku dimasa lalu dan meneguhkanku untuk tetap
mentaatinya, memberiku kesudahan hidupyang baik (khusnul khatimah) serta
menjadikan kuburanku dan kuburan kaum muslimin sebagai taman-taman
Surga. Amin…(Azzamul Qaadim, hal 36-42)
Sumber :["Saudariku
Apa yang Menghalangimu Untuk Berhijab"; judul asliKesudahan yang
Berlawanan; Asy Syaikh Abdul Hamid Al-Bilaly; Penerbit : AkafaPress Hal.
48]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar